Minggu, 21 Desember 2008

Artikel

Kubangan: Penyadaran Budaya Urban

(Catatan Pementasan Teater Syahid)

Oleh: Husin [1]

Barangkali jika mendengar kata kubangan, kita dihadapkan oleh sesuatu yang sangat berbau busuk, kotor dan sangat menjijikkan, dimana kerbau sangat senang bercebur didalamnya. Pementasan Teater Syahid dari Jakarta yang berjudul “Kubangan”, beberapa penonton beranggapan bahwa panggung dibuat menjadi sesuatu yang jorok dan sangat menjijikkan. Ternyata semua itu diluar dugaan.

Tak seperti biasanya, di luar gedung pertunjukan Auditorium Boestanul Arifin Adam Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang terdengar dentuman musik disco yang sangat keras. (11/11) baru lalu, penulis dan beberapa teman, tanpa menunggu pementasan dimulai langsung memasuki gedung. Ternyata didalam gedung terlihat lampu warna-warni, berkedap-kedip dan berputar-putar mengikuti tempo dan irama musik, tepatnya seperti discotik. Penonton ada yang bergoyang mengikuti irama musik dan ada pula yang menahan diri, barangkali tidak tersugesti atau belum pernah mengalami hal yang demikian.

Penonton dikala asyik menikmati musik, tiba-tiba masuk dua orang pemain peempuan dan enam orang pemain laki-laki berpakaian aneh dengan warna yang sangat mencolok, langsung menaiki panggung. Panggung di set panjang, dengan menambah trap dibawah panggung yang biasanya digunakan sebagai areal penonton, posisi penonton dibikin menjadi setengah lingkaran atau letter U.

Aktor-aktor tersebut bergoyang sambil mondar-mandir, tiba-tiba tubuh mereka bergetar, berselang beberapa menit tubuh mereka normal lagi, lalu bergetar lagi. Kemudian pergetaran tubuh mereka semakin cepat yang diikuti oleh aktivitas dan prilaku yang sangat cepat dan mekanis; ada yang bekerja dibertender, makan, menyemprot bunga, merias wajah, menunggu dan bekerja dimeja kantor. Setelah beraktivitas yang memakan waktu lebih kurang sepuluh menit, aktivitas mereka saling bertukaran dan semakin cepat. Pergerakan tubuh sperti itu, dapat digambarkan tentang kehidupan masyarakat perkotaan yang penuh sesak, ruwet yang dikendalikan oleh mesin waktu dan manusiapun tak ubahnya bagaikan mesin. Barangkali inilah tubuh-tubuh yang tidak sanggup lagi menahan derasnya perubahan yang terus berlangsung, kemudian tubuh-tubuh ini tidak punya pilihan lain, kecuali dipaksa untuk mengikuti percepatan zaman yang menawarkan prodak-prodak menggiurkan. Pikiran dan perasaan mereka sudah tidak bisa bekerja sama lagi.

Tubuh mereka terus bergetar dengan intensitas yang sangat maksimal, lalu mereka berdialog saling bersahut-sahutan. Dialog itu berbenturan dan saling berlawanan, mereka saling tidak percaya dan saling membantah dengan pemikirannya masing-masing. Sepertinya interaksi antara mereka dipicu oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, agama yang semakin hari semakin memprihatinkan. Dialog diucapkan dengan penuh kebencian, kemarahan dan dendam. Kesenjangan diantara mereka memunculkan kekerasan dan kerusuhan sangat gampang terjadi, keharmonisan dan kedamaian yang mereka harapkan tidak pernah ada.

Diolog-diolog itu, mengantarkan para aktor pada pergantian kostum yang telah tersedia disebelah kiri belakang panggung. Mereka mengganti pakaian dengan gaya dan penampilan yang berbeda-beda, lalu berjalan dan bergaya bagaikan model di atas cat walk. Lama kelamaan pakaian dan tingkah laku mereka semakin aneh, sepertinya mengisyratkan kejenuhan dan kebosanan terhadap kehidupan yang mereka jalani. Bagian ini penulis menangkap, bahwa mereka tidak hanya memperdagangkan atau menjual pakaian yang mereka peragakan, akan tetapi mereka telah menjual diri mereka sendiri. Menjual diri di sini, bukanlah dalam artian melacurkan diri saja, namun dia bisa menjadi artian banyak dan macam-macam, terserah kita mau mengiterpretasinya seperti apa? Pendekatannya kemana? Keanehan mereka semakin memuncak, sepertinya mereka tidak terlepas dari gelombang itu, hal ini digambarkan oleh pemain dengan cara mengikat diri dengan tali. Akan tetapi dengan segala kekuatan dan perlawanan mereka, akhirnya mereka mampu melepaskan itu semua. Mereka melepaskan segala aksesoris yang ada ditubuh. penghadiran teknologi manual ke atas panggung, turunlah sesuatu yang berupa bingkai, mereka meletakkan aksesoris di atas bingkai itu, setelah itu segala aksesoris, pakaian naik ke atas. Barangkali hal demikian adalah sesuatu kehidupan yang selama ini menjerat harus dilepaskan. Setelah semua terlepas, lalu berada disesuatu ambang penyucian diri di alam bawah sadar pikiran, namun sayangnya tubuh para aktor masih tetap memunculkan getaran.

Melihat struktur pemanggungan yang coba digambarkan di atas panggung, sepertinya sutradara (Bambang Prihadi) menghadirkan pendekatan eksperimental dalam spirit eksplorasi. Apa yang coba ditawarkan oleh sutradara dapat ditangkap suatu titik persolan yang dialami oleh masyrakat perkotaan, kalau bahasa lainnya budaya urban. Meskipun pertunjukan ini terlihat sepertinya anti dramatik, tidak memiliki fokus, baik itu tokoh ataupun yang lainnya. Tetapi bagi penulis, fokus disini adalah persoalannya. Dimana masyarakat dipaksa untuk patuh terhadap prodak-prodak kapitalis, manusia menjadi manusia yang konsumeristik dan hedon. Sepertinya manusia sangat bangga dengan kebesaranyya, sangat bangga dengan kekayaannya, sangat bangga dengan keindahannya, sangat bangga dengan jabatannya, sangat bangga dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tanpa memikirkan keberadaan nasib masyarakat kaum bawah. Padahal semua itu penuh misteri, keindahan yang diagungkan kadangkala membuat kita bingung dan gamang. Tanpa kita sadari, ternyata semuanya kusam, jorok, pengap dan rapuh. Ternyata semuanya telah direkayasa oleh kaum kapitalis. Sedangkan kita tidak menyadari, telah berada disekitar kubangan itu sendiri dan bahkan masuk kedalamnya.

Kalau dilihat dari segi pementasan dan dramaturginya, tentulah banyak hal-hal teknis yang tidak maksimal. Namun sutradara dengan Labor Teater Syahidnya yang dibiayai oleh Hibah Seni Yayasan Kelola ini berhasil menyadarkan kita pada persoalan yang sangat memprihatinkan. Semuanya itu sudah sangat dekat disekitar kita. Seperti yang dikatakan oleh salah satu penonton, teater adalah sebuah peristiwa dan peristiwa itu harus disampaikan lewat media panggung.

Husin, adalah pemerhati dan praktisi teater. Kini masih terus belajar teater di Komunitas Lorong dan Komunitas Hitam-Putih.



[1] Penulis adalah pemerhati dan praktisi teater, aktif di Komunitas Lorong dan Hitam Putih Padangpanjang